Google

Senin, 24 Maret 2008

"SAVE PAPER - THINK BEFORE YOU PRINT! "

Mari kita lebih peduli pada nasib Bumi kita !
Save the Nature, Save the Earth !!!

Harta Karun untuk Semua
oleh Dewi Lestari

Hari ini kiriman buku yang saya pesan dari Amazon.com datang. Ada satu
buku
yang langsung saya sambar dan baca seketika. Judulnya: "Stuff - The
Secret Lives of Everyday Things". Buku itu tipis, hanya 86 halaman,
tapi
informasi di dalamnya bercerita tentang perjalanan ribuan mil dari mana
barang-barang kita berasal dan ke mana barang-barang kita berakhir.

Dimulai sejak SD, saat saya pertama kali tahu bahwa plastik memakan
waktu
ratusan tahun untuk musnah, saya sering merenung: orang gila mana yang
mencipta sesuatu yang tak musnah ratusan tahun tapi masa penggunaannya
hanya dalam skala jam-bahkan detik? Bungkus permen yang hanya bertahan
sepuluh detik di tangan, lalu masuk tong sampah, ditimbun di tanah
dan
baru

hancur setelah si pemakan permen menjadi fosil.

Sukar membayangkan apa j adi nya hidup ini tanpa plastik, tanpa cat,
tanpa
deterjen, tanpa karet, tanpa mesin, tanpa bensin, tanpa fashion. Dan
sebagai konsumen dalam sistem perdagangan modern, sejak kita lahir
rantai
pengetahuan tentang awal dan akhir dari segala sesuatu yang kita
konsumsi
telah diputus. Kita tidak tahu dan tidak dilatih untuk mau tahu ke mana
kemasan styrofoam yang membungkus nasi rames kita pergi, berapa banyak
pohon yang ditebang untuk koran yang kita baca setengah jam saja, beban
polutan yang diemban baju-baju semusim yang kita beli membabi-buta.

Untuk aktivitas harian yang kita lewatkan tanpa berpikir, yang terasa
wajar-wajar saja, pernahkah kita berhitung bahwa untuk hidup 24 jam
kita
bisa menghabiskan sumber daya Bumi ini berkali-kali lipat berat tubuh
kita
sendiri?

Untuk menyiram
200 cc air kencing, kita memakai 3 liter air. Untuk
mencuci
secangkir kopi, kita butuh air sebaskom. Untuk memproduksi satu lapis
daging burger yang mengenyangkan perut setengah hari dibutuhkan sekitar
2,400 liter air. Produksi satu set PC seberat 24 kg yang parkir di atas
meja kerja kita menghasilkan 62 kg limbah, memakai 27,594 liter air,
dan
mengonsumsi listrik 2,300 kwh. Bagaimana dengan chip kecil yang bekerja
di
dalamnya? Limbah yang dihasilkan untuk memproduksinya 4,500 kali lipat
lebih berat daripada berat chip itu sendiri.

Mengetahui mata rantai tersembunyi ini bisa menimbulkan berbagai
reaksi.
Kita bisa frustrasi karena terjepit dalam ketergantungan gaya hidup
yang
tak bisa dikompromi, kita bisa juga semakin apatis karena tidak mau
pusing.

Yang jelas, sesungguhnya ini adalah pengetahuan yang sudah saatnya
dibuka.
Pelajaran Ilmu Alam, selain belajar penampang
daun dan membedah jantung
katak, dapat dibuat lebih empiris dengan mempelajari hulu dan hilir
dari
benda-benda yang kita konsumsi, sehingga tanggung jawab akan alam ini
telah
disosialisasikan sejak kecil.

Pernahkah kita merenung, saat kita memasuki gedung FO empat lantai,
Pasar
Baru, atau berjalan-jalan ke Gasibu pada hari Minggu di mana ada lautan
PKL: tidakkah semua baju dan barang-barang itu mampu memenuhi kecukupan
penduduk satu kota ? Tapi kenapa barang-barang ini tidak ada habisnya
diproduksi? Setiap hari selalu ada jubelan pakaian baru yang
menggelontori
pasar. Pernahkah kita merenung, saat kita memasuki hypermarket dan
melihat
ratusan macam biskuit, ratusan varian mie instan, dan ratusan merk
sabun:
haruskah kita memiliki pilihan sebanyak itu?

Pernahkah kita merenung, apa yang kita inginkan sesungguhnya jauh
melebihi
apa yang kita butuhkan?

Atas nama
kecukupan, satu manusia bisa hidup dengan lima pasang baju
dalam
setahun, bahkan lebih. Atas nama fashion, jumlah itu menj adi tidak
berbatas. Atas nama kebutuhan, satu manusia bisa hidup dengan beberapa
pilihan panganan dalam sehari. Atas nama selera dan nafsu, seisi Bumi
tidak
akan sanggup memenuhi keinginan satu manusia.

Permasalahan ini memang bisa dilihat dari berbagai kaca mata. Seorang
ekonom mungkin akan menyalahkan sistem kapitalisme dan globalisasi.
Seorang

sosialis akan mengatakan ini masalah distribusi dan pemerataan. Tapi
jika
kita runut, satu demi satu, bahwa Bumi adalah kumpulan negara, negara
adalah kumpulan kelompok, dan kelompok adalah kumpulan individu,
permasalahan ini akan kembali ke pangkuan kita. Dan kesadaran serta
kemauan kitalah yang pada akhirnya akan memungkinkan sebuah perubahan
sejati.

Belum pernah dalam sejarah kemanusiaan keputusan harian kita menj
adi
sangat menentukan. Tidak perlu menunggu Amerika menyepakati protocol
Kyoto, tidak
perlu juga menunggu penjarah hutan tertangkap, setiap langkah
kita-memilih
merk, kuantitas, tempat, gaya hidup-adalah pilihan politis dan ekologis
yang menentukan masa depan seisi Bumi.

Saya belum bisa mengorbankan komputer karena itulah instrumen saya
bekerja,
tapi saya bisa lebih awas dengan jam penggunaan dan mematikannya jika
tidak
perlu. Saya belum bisa mengorbankan kebutuhan akan informasi, tapi saya
bisa memilih membaca berita lewat internet atau membaca koran di tempat
publik ketimbang berlangganan langsung. Bagaimana dengan fashion?
Di dunia citra ini, dengan profesi yang mengharuskan banyak tampil di
muka
publik, saya pun belum bisa mengorbankan keperluan fashion (baca:
membeli
busana lebih sering dari yang dibutuhkan), tapi saya bisa membuat
komitmen
dengan lemari pakaian,
yakni baju yang saya miliki tidak boleh melebihi
kapasitas lemari saya. Jika lebih, maka harus ada yang keluar. Dan
setiap
beberapa bulan saya dihadapkan pada kenyataan bahwa ada baju yang tidak
saya pakai setahun lebih atau baju yang cuma sekali dipakai dan tak
pernah
lagi. Bukan cuma baju, ada juga buku, pernik rumah, alat dapur, bahkan
sabun dan sampo yang utuh tak disentuh.

Alhasil, dalam rumah saya ada semacam peti-peti 'harta karun', yang
berisikan barang-barang yang harus keluar dari peredaran, karena jika
dipertahankan hanya menj adi kelebihan tanpa lagi unsur manfaat. Harta
karun ini lantas harus dic arik an lagi outlet untuk penyaluran.

Pada waktu perayaan 17 Agustus, di kompleks saya diselenggarakan
bazaar.
Para warga menyewa stand untuk berjualan. Saya ikut berpartisipasi, dan
sayalah satu-satunya penjual barang bekas di antara penjual barang-baru
baru. Karena bukan demi cari untung,
barang-barang itu saya lepas
dengan
harga sangat murah. Yang membeli bukan cuma warga kompleks, tapi juga
dari
kampung sekitar. Hari pertama, saya sudah kehabisan dagangan. Terpaksa
saya
mengontak saudara-saudara saya yang barangkali juga punya barang bekas
untuk disalurkan. Sama dengan saya, mereka pun punya timbunan harta
karun
yang entah harus diapakan. Stand saya menj adi salah satu stand paling
laris selama bazaar berlangsung. Dan kakak saya terkaget-kaget dengan
penghasilan
yang ia dapat dari tumpukan barang yang sudah dianggap sampah.

Berjualan di bazaar tentu bukan satu-satunya jalan, ada aneka cara
kreatif
lain untuk memanfaatkan harta karun kita, termasuk juga disumbangkan ..
Namun yang lebih sukar adalah memulai membuat komitmen-komitmen
pembatasan
diri. Berkomitmen dengan rak buku, dengan lemari pakaian, dengan rak
kamar
mandi, dengan laci dapur, dan
pada intinya... dengan diri sendiri.
Siapkah
kita menentukan batasan dan berjalan dalam koridor itu?

Dan, yang lebih susah lagi, adalah pengenda lia n diri dari awal bersua
aneka pilihan yang membombardir kita setiap hari, lalu sadar dan mawas
akan
rantai sebab-akibat yang menyertai pilihan kita. Membuka diri untuk
info
dan pengetahuan ekologi adalah salah satu cara pembekalan yang baik.
Walaupun sekilas tampak merepotkan dan bikin frustrasi, tapi kantong
kresek
yang kita buang t adi pagi tidak akan hilang oleh sihir, dan hamburger
yang
kita makan tidak dipetik dari pohon. Rantai yang menyertai
barang-barang
itu tidak akan hilang hanya karena kita menolak tahu.

Banyak orang yang berkomentar pada saya, " Aduh , Wi . Kamu bikin hidup
tambah susah saja." Dan mereka benar. Hidup ini tak mudah. Untuk itu
kita justru
harus belajar menghargai setiap jengkalnya. Memilih hidup
yang lebih
sederhana, hidup dengan tempo yang lebih pelan, hidup dengan pengasahan
kesadaran, tak hanya membantu kita lebih eling dan terkendali, tapi
juga
membantu Bumi ini dan jutaan manusia yang dij adi kan alas kaki oleh
industri demi pemenuhan nafsu konsumsi kita sendiri.

Lingkaran setan? Ya. Tapi tidak berarti kita tak sanggup berubah.

Selama ini kita adalah pembeli yang berlari. Dalam kecepatan tinggi
kita
bertransaksi, sabet sana sabet sini, tanpa tahu lagi apa yang
sesungguhny kita cari.
berhentilah sejenak. marilah kita berjalan

Tidak ada komentar: